Sulit Dapatkan Air Bersih, Warga Lombok Rentan Terkena Malaria
Liputan6.com, Jakarta Gempa Lombok mengakibatkan dampak yang luar biasa, menelan sebanyak 555 korban meninggal dunia dengan puluhan ribu rumah yang rusak. Sebanyak 390 ribu 529 masyarakat masih tinggal dan menempati tenda-tenda posko pengungsian.
Gempa yang menimpa kawasan Lombok ini dikatakan sebagai gempa terbanyak di sebuah lokasi. Tercatat sudah dua ribuan kali gempa menggoncang Lombok dan menimbulkan kerusakan yang begitu parah di sejumlah lokasi dan titik-titik daerah rawan gempa.
Kondisi ini semakin diperparah dengan musim hujan datang sebelum waktunya. Hujan biasanya turun di bulan Oktober dan November, tetapi terhitung sejak 18 September kemarin hujan sudah mulai turun.
Berdasarkan update terkini, tenda-tenda pengungsian yang hanya beralaskan terpal pun sudah mulai digenangi oleh air bekas hujan. Keadaan ini mengartikan bahwa meskipun fase darurat sudah berlalu dan sekarang sudah masuk ke dalam fase transisi, tidak serta merta bahwa masalah yang dihadapi masyarakat Lombok sudah berakhir.
Air bersih yang sulit didapatkan
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1451016/original/075364500_1483088850-o-CLEAN-WATER-facebook.jpg)
Pada saat bencana terjadi, produksi air bersih yang dihasilkan pun menjadi terhambat dan perlahan dianggap sebagai suatu hal yang langka. Air yang berasal dari alam pun kemudian menjadi sulit didapatkan akibat gempa yang terjadi.
Padahal kebutuhan manusia akan air bersih merupakan kebutuhan pokok dan sangat krusial. Keterbatasan air tersebut menjadi pemicu timbulnya penyakit-penyakit.
Bayangkan, mungkin di fase awal orang masih dapat bertahan hidup tanpa pakaian dan perlengkapan lainnya tetapi jika mereka tidak menerima asupan makanan dan minuman dalam kurun waktu satu minggu saja, hal tersebut akan sangat berdampak sekali dan tidak memungkinkan seseorang untuk bertahan hidup.
Ketika terjadi hujan, air yang datang merupakan air kotor dan bukan untuk dikonsumsi.
Isu rentan terkait kesehatan dan sanitasi
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2327341/original/029051100_1534068078-bocah_korban_gempa_Lombok.jpg)
NTB adalah salah satu provinsi yang bebas dari penyakit malaria sebelum kejadian gempa. Tetapi hari ini, penyakit tersebut sudah menjadi KLB atau kejadian Luar Biasa malaria.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Setelah cuaca panas yang panjang lalu kemudian muncul hujan dengan curah tinggi, maka jentik-jentik ini kemudian menetas dan seperti biasa melakukan siklus hidupnya kembali.
Kumpulan nyamuk yang menetas tersebut kemudian kembali mencari mangsanya dan hidup sebagaimana ekologinya.
Jika melihat pada kondisi di lapangan, manusianya lah yang sudah berubah. Perubahan ini memiliki artian bahwa masyarakat yang biasanya berada dalam rumah dengan perangkap nyamuk yang baik dan rumah yang melindungi mereka dari sengatan nyamuk tidak memungkinkan malaria ini mengintervensi.
Namun, kemudian karena sekarang mereka tinggal di tenda, menggunakan kamar mandi tanpa air, lingkungan yang sedemikian kotor, antibodi menurun dan tingkat stres yang juga turun, maka mulailah ini menjadi media baru dalam penularan malaria.
Dalam waktu hanya 2 hari pasca hujan, terdapat 111 kasus malaria yang muncul. Kondisi ini menjadi sangat memprihatinkan dalam menghadapi kasus kerentanan tersebut.
"Kiranya isu Lombok ini tetap ada dan terus naik karena Lombok masih belum pulih dan masih memerlukan banyak bantuan. Proses recovery inilah yang menjadi sangat penting untuk dilakukan," ujar Bambang Suherman selaku Resources Mobilisation Director dari Dompet Dhuafa yang ditemui pada acara pers conference Shopee Bersama Lombok, Senin (24/09).
Reporter dan Penulis: Immanuela Harlita Josephine
0 Response to "Sulit Dapatkan Air Bersih, Warga Lombok Rentan Terkena Malaria"
Post a Comment