Penanganan Covid-19, Inkonsistensi Pemerintah atau Rakyat Tak Percaya Corona?
Liputan6.com, Jakarta - Saat ini pemerintah terus berupaya untuk kembali mensosialisasikan bahaya virus Corona Covid-19.
Pasalnya angka penularan virus asal Wuhan, China tersebut terus meningkat. Bahkan pada Minggu, 6 September 2020, tercatat sudah ada 3.444 orang dinyatakan positif Covid-19 dalam satu harinya. Sehingga secara keseluruhan telah ada 194.109 kasus di Indonesia.
Pemerintah pusat melalui Satuan Tugas atau Satgas Penanganan Covid-19 meminta pemerintah daerah yang wilayahnya masuk zona merah untuk menarik rem darurat.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyampaikan, kepala daerah memperhatikan perkembangan penyebaran virus Corona. Dia mengungkapkan, analogi gas dan rem yang dipakai Jokowi.
"Jika daerah tergolong kategori merah, maka kepala daerahnya harus mengerem. Namun, jika jumlah kasus sudah berkurang, maka kepala daerah bisa menambah gasnya," ujar Doni dalam rapat dengan Komisi VIII DPR RI.
"Bapak Presiden mengingatkan rem dan gas, kalau zona merah maka rem lah yang ditekan ketika daerah sudah berkurang kasusnya maka gas bisa ditambah," sambung dia.
Doni mengungkapkan, dalam beberapa hari terakhir daerah zona merah Covid-19 bertambah dari 32 daerah menjadi 65 daerah. Daerah zona kuning dan hijau kian mengalami penurunan.
"Dalam beberapa minggu terakhir terjadi peningkatan semula daerah zona merah 32 sekarang bertambah menjadi 65," ucap dia.
Salah satu yang perlu diperhatikan kepala daerah adalah ketersediaan rumah sakit bagi pasien terkait virus Corona Covid-19 yang semakin berkurang.
Doni meminta kepala daerah memperhatikan hal ini agar tidak membuat kekhawatiran di masyarakat.
Kembali Kampanyekan Bahaya Covid-19 dan Siapkan Sanksi
Alhasil, upaya mengingatkan bahaya virus Corona Covid-19 kembali dikampanyekan. Salah satu inovasi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta adalah dengan penerapan sanksi masuk peti jenazah bagi pelanggar protokol kesehatan Covid-19.
Namun, gagasan sanksi yang diambil oleh Pemprov DKI Jakarta itu harus ditangguhkan lantaran mendapatkan kritik.
Selain itu, sanksi tersebut juga tidak diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 51 Tahun 2020.
Aturan hanya memberlakukan dua sanksi yang bisa dipilih oleh pelanggar, yaitu membayar denda Rp 250 ribu atau melakukan kerja sosial selama satu jam.
Sanksi Dinilai Terlambat
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy mengatakan, sanksi tersebut merupakan bentuk simbolik untuk membangun kepekaan pada masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki kesadaran akan bahaya dari Covid-19.
Namun sayangnya, kampanye bahaya Corona Covid-19 saat ini sudah terlambat. Dia menilai, pemerintah sendirilah yang telah membuka keran penyekatan penyebaran Covid-19, dengan mengeluarkan gagasan new normal.
"Saya kira upaya ini sudah agak terlambat. Karena sebelumnya sudah terlanjur meluas gagasan new normal," kata Rissalwan saat dihubungi merdeka.com, Minggu, 6 September 2020.
Dia mengungkapkan, gagasan new normal dari pemerintah membuat publik tidak percaya lagi dengan simbol-simbol yang disampaikan pemerintah. Sebab, kebijakan tidak dilakukan dengan konsisten dalam penanganan Covid-19.
"Sebagai contoh upaya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Di mana pusat perbelanjaan, tempat ibadah hingga pasar ditutup sementara untuk mencegah penyebaran Covod-19. Lalu, muncullah kebijakan new normal, di mana masyarakat mulai dapat kembali beraktivitas," papar Rissalwan.
Alhasil, kata dia, Indonesia hingga saat ini masih belum mencapai puncak dari pandemi Covid-19. Grafik menujukkan, angka penularan Covid-19 masih terus naik hingga berita ini ditulis.
"Jadi bisa saja sebagian besar publik justru tidak bisa memercayai lagi pesan-pesan simbolik yang disampaikan oleh pemerintah. Karena kebijakan-kebijakan yang inkonsisten dalam penanganan penyebaran wabah Covid ini sejak Maret yang lalu," jelas Rissalwan.
Sanksi sebagai Upaya Edukasi
Psikolog Sosial Universitas Mercu Buana dan Peneliti Lab Psikologi Politik Universitas Indonesia Naufal Umam mengungkapkan, efek jera hanya terasa ketika hukuman itu secara langsung menimpa pribadi seseorang dalam waktu yang panjang.
Menurut dia, efek jera dari sanksi hukuman masuk peti mati ini sangat simbolis dan tidak semua orang dapat menangkap maksudnya.
"Kesadaran masyarakat tidak bisa terbentuk begitu saja. Terlebih lagi Indonesia sedari awal terlanjur memberi sinyal bahwa Covid-19 ini bukan hal yang serius," ujar Naufal.
Dia menambahkan, ada anggapan unik dari catatan lapangan tentang dinamika sosial yang terjadi. Masyarakat menengah ke bawah menganggap ini penyakit orang kaya yang suka bepergian ke luar negeri dan suka ngumpul dengan orang asing.
Di sisi sebaliknya, lanjut dia, bagi masyarakat menengah ke atas menganggap ini penyakit orang bawah yang tidak peduli dengan sanitasi. Sehingga terlibat dalam siklus saling menyalahkan dan sulit mencapai kesadaran kalau kita semua bersama-sama berada di masa pandemi.
"Namun, kalau boleh dibilang ini sangat lemah dalam hal efektivitas modifikasi perilaku. Masyarakat butuh konsistensi dan pemerataan hukum yang logis yaitu sanksi/denda/pembatasan untuk semua kalangan dan setiap waktu. Sehingga tidak ada lagi anggapan yang menggiring ini bukan hal yang serius," tegas Naufal.
Masyarakat Hanya Percaya pada Apa yang Dilihatnya
Sementara itu, pengamat sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menilai, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyebaran virus Covid-19 karena beberapa hal.
"Pertama, tidak ada seorang pun yang memiliki pengetahuan. Covid-19 merupakan suatu hal yang baru, terlebih hingga kini vaksin masih belum ditemukan," ujar Devie dalam percakapan telepon dengan merdeka.
Kedua, lanjut dia, tidak ada orang yang punya pengalaman sebelumnya terkait Corona Covid-19.
"Ketiga, ada penglihatan, orang tidak melihat langsung, kalau demam berdarah setidaknya paling tidak orang terdekat pernah kena, tapi Covid-19 apa iya Anda pernah melihat sendiri?" kata Devie.
Dia menjelaskan, manusia itu sangat visual, yaitu seeing is believing. Sehingga, kata Deviw, hanya memercayai apa yang dilihatnya
Berbagai hoaks dan juga konspirasi masih banyak beredar luas di internet dan tidak jarang orang yang memercayainya. Sehingga penyebaran hoaks ini menjadi salah satu pemicu dari ketidakpercayaan masyarakat.
"Jadi 4P pengetahuan, pengalaman, penglihatan, penyebaran hoaks, tidak hanya masyarakat Indonesia saja, ini bahkan terjadi di negara maju. Seperti Amerika yang menolak memakai masker secara gila gila-an. Artinya jangan salahkan masyarakat kita," terang Devie.
Yang Bisa Dilakukan Saat ini
Menurut Devie, ada beberapa hal yang bisa dilakukan saat ini, yaitu pertama sosialisasi tiada henti. Dia percaya masyarakat perlu disosialisasi terus menerus.
"Kedua, demonstrasi simbolik ia mencontohkan seperti kejadian yang baru-baru ini viral terkait dengan pelanggar masker yang dimasukan ke dalam peti jenazah," kata dia.
Menurut Devie, itu menjadi langkah yang baik untuk menyadarkan masyarakat bahwa virus Covid-19 itu nyata adanya.
"Menggunakan tokoh publik juga bisa menjadi cara agar apa yang disampaikan pemerintah bisa sampai ke masyarakatnya," ucap Devie.
Dia menyebut, peran tokoh publik memang dinilai penting sebagai pemberi contoh dan panutan. Dengan cara menggunakan tokoh publik di media sosial ataupun secara langsung seperti menggunakan peran RT dan tokoh masyarakat.
"Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang hierarkis, artinya akan mengikuti orang yang dianggap status sosial lebih tinggi," ucap dia.
"Di samping itu hal yang perlu dilakukan pertama adalah mengedukasi tokoh publik jangan sampai perilaku mereka tidak sesuai dengan protokol kesehatan karena berpotensi menjadi panutan bagi pengikut atau penggemarnya. Terakhir, isolasi jika memang nantinya jumlah kasus sudah tidak terbendung lagi," pungkas Devie.
Reporter : Fikri Faqih
Sumber : Merdeka
0 Response to "Penanganan Covid-19, Inkonsistensi Pemerintah atau Rakyat Tak Percaya Corona?"
Post a Comment